Kamis, 03 April 2008

HowImportantNUTRISI


Gaya hidup yang semakin modern serta aktivitas harian yang padat seringkali membuat kita memilih menyantap makanan cepat saji (fastfood) yang banyak tersedia di luar dengan alasan tidak repot, cepet bikin kenyang dan pastinya mak nyoooossss. Tapi, belum tentu makanan tersebut bergizi dan punya kandungan nutrisi yang cukup, bahkan cenderung berdampak negatif bagi kesehatan kita.

Nutrisi yang dikonsumsi oleh tubuh berfungsi membantu pertumbuhan serta peremajaan jaringan sel-sel di dalam tubuh kita, dimana sel-sel tersebut memiliki fungsi untuk mengedarkan darah dan oksigen ke seluruh tubuh. Apabila peredaran aliran darah dan oksigen ke seluruh tubuh terhambat, sebagian dari jaringan sel menjadi rusak.

Nutrisi berbentuk serat sangat dibutuhkan oleh tubuh kita untuk membantu proses pencernaan tubuh, serat ini terkandung pada buah-biahan dan sayur-sayuran. Kalo kurang nutrisi serat ini dapat mengganggu frekuensi buang air besar dan akhirnya menyebabkan sembelit.

Selain sembelit, kurangnya nutrisi dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan lainnya seperti osteoporosis, anemia, ginjal dan lain-lain. Dampak langsungnya pada penampilan kita antara lain adalah penuaan dini, kulit kusam dan rambut rontok.

Untuk menyiasati agar asupan nutrisi sehari-hari kita tercukupi, mulailah mengkombinasikan olahan berbagai bahan makanan segar seperti sayuran, ikan, buah-buahan dan lain-lain yang mengandung protein, karbohidrat dan vitamin dalam menu makanan kita. Makanan sehat juga tetap dapat menggugah selera kita dan rasanya tidak kalah dengan makanan cepat saji kegemaran kita.

So... be healthy gak kudu mahal kan..???

Dikutip dari berbagai sumber

Rabu, 19 Maret 2008

FaseKehamilan



Oktober 2007, kebahagiaan datang bertubi2. selain kebahagiaan akan datangnya hari raya Idul Fitri, aku juga amat Bahagia ketika tes kehamilanku melambangkan 2 garis, ini artinya aku positif hamil. sujud syukurku, sepulang dari Dokter, aku dan suami langsung sholat, sujud syukur kami atas kebahagiaan ini. aku dan suami amat bahagia karena kehamilan ini memang yang benar2 dinantikan oleh kami berdua. Memang belum lama sech dari hari pernikahan, namun aku sempat shock setelah dua kali tes kehamilan tapi hasilnya negatif. aku amat bahagia ditambah lagi dengan pancaran kebahagiaan suamiku.

setelah berita bahagia itu datang, pekerjaanku menambah satu, yaitu bolak-balik liat artikel kehamilan di internet, majalah, koran dan media lainnya. aku amat senang dengan kesibukan baru ini, sangat menambah wawasanku yang memang bener2 nge blank tentang kehamilan. dan kini, aku ingin berbagi hasil pencarianku di internet. (www.infobunda.com)

Mengetahui diri kita mengandung tentu sangat menggembirakan. Selama 9 bulan ke depan, Kita akan menjalani ‘kehidupan baru’ yang sangat menarik. Apa saja yang terjadi di dalam rahim Kita selama itu? Bagaimana proses pertumbuhan janin Kita dalam tiap fase? Panduan pertumbuhan janin berikut ini mudah-mudahan akan membantu persiapan Kita menyambut si kecil hadir dalam kehidupan Kita.


0-4 Minggu
Pada minggu-minggu awal ini, janin Anda memiliki panjang tubuh kurang lebih 2 mm. Perkembangannya juga ditandai dengan munculnya cikal bakal otak, sumsum tulang belakang yang masih sederhana, dan tanda-tanda wajah yang akan terbentuk.


4-8 Minggu
Ketika usia kehamilan mulai mencapai usia 6 minggu, jantung janin mulai berdetak, dan semua organ tubuh lainnya mulai terbentuk. Muncul tulang-tulang wajah, mata, jari kaki, dan tangan

8-12 Minggu
Saat memasuki minggu-minggu ini, organ-organ tubuh utama janin telah terbentuk. Kepalanya berukuran lebih besar daripada badannya, sehingga dapat menampung otak yang terus berkembang dengan pesat. Ia juga telah memiliki dagu, hidung, dan kelopak mata yang jelas. Di dalam rahim, janin mulai diliputi cairan ketuban dan dapat melakukan aktifitas seperti menendang dengan lembut. Organ-organ tubuh utama janin kini telah terbentuk.

12-16 Minggu
Paru-paru janin mulai berkembang dan detak jantungnya dapat didengar melalui alat ultrasonografi (USG). Wajahnya mulai dapat membentuk ekspresi tertentu dan mulai tumbuh alis dan bulu mata. Kini ia dapat memutar kepalanya dan membuka mulut. Rambutnya mulai tumbuh kasar dan berwarna.

16-20 Minggu
Ia mulai dapat bereaksi terhadap suara ibunya. Akar-akar gigi tetap telah muncul di belakang gigi susu. Tubuhnya ditutupi rambut halus yang disebut lanugo. Si kecil kini mulai lebih teratur dan terkoordinasi. Ia bisa mengisap jempol dan bereaksi terhadap suara ibunya. Ujung-ujung indera pengecap mulai berkembang dan bisa membedakan rasa manis dan pahit dan sidik jarinya mulai nampak.

20-24 Minggu
Pada saat ini, ternyata besar tubuh si kecil sudah sebanding dengan badannya. Alat kelaminnya mulai terbentuk, cuping hidungnya terbuka, dan ia mulai melakukan gerakan pernapasan. Pusat-pusat tulangnya pun mulai mengeras. Selain itu, kini ia mulai memiliki waktu-waktu tertentu untuk tidur.

24-28 Minggu
Di bawah kulit, lemak sudah mulai menumpuk, sedangkan di kulit kepalanya rambut mulai bertumbuhan, kelopak matanya membuka, dan otaknya mulai
aktif. Ia dapat mendengar sekarang, baik suara dari dalam maupun dari luar (lingkungan). Ia dapat mengenali suara ibunya dan detak jantungnya bertambah cepat jika ibunya berbicara. Atau boleh dikatakan bahwa pada saat ini merupakan masa-masa bagi sang janin mulai mempersiapkan diri menghadapi hari kelahirannya.

28-32 Minggu
Walaupun gerakannya sudah mulai terbatas karena beratnya yang semakin bertambah, namun matanya sudah mulai bisa berkedip bila melihat cahaya melalui dinding perut ibunya. Kepalanya sudah mengarah ke bawah. Paru-parunya belum sempurna, namun jika saat ini ia terlahir ke dunia, si kecil kemungkinan besar telah dapat bertahan hidup.

36 Minggu
Kepalanya telah berada pada rongga panggul, seolah-olah "mempersiapkan diri" bagi kelahirannya ke dunia. Ia kerap berlatih bernaPas, mengisap, dan menelan. Rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya telah menghilang. Ususnya terisi mekonium (tinja pada bayi baru lahir) yang biasanya akan dikeluarkan dua hari setelah ia lahir. Saat ini persalinan sudah amat dekat dan bisa terjadi kapan saja.

Sabtu, 15 Desember 2007

the real SUPER MOM????? edisi 1

Di sebuah statiun TV di Indonesia beberapa bulan terakhir ditayangkan sebuah acara yang menampilkan ibu dan anak berada dalam satu panggung, acara tsb terbilang sukses. dan mengiringi kesuksesan program tsb bahkan diterbitkan tabloid dengan judul yang sama dgn acara tsb. katakanlah "MAMA MIA, SUPER MAMA, MAMA SELEB..dsb".

entah apa misi terselubung dari acara tsb, yang pasti acara tersebut mampu lebih mengakrabkan anak dan ibu yang mungkin sudah agak kurang akrab karena kesibukan masing-masing. walau....menurut saya, kadang acara tersebut kehilangan karakter keindonesiaanya dan bahkan kadang ada beberapa yang menurut saya kurang mendidik, dan kadang menurut saya ada juga eksploitasi tubuh seksi.
Salah satu contoh : diawal seleksi anak tsb dan mamanya berpakaian biasa banget bahkan gak ada seksi2 nya, namun setelah mengikuti acara tsb.. OMG..ogh My God sang kontestan menjadi senang dgn berpakaian yang menurut saya kurang membanggakan keindonesiannya, Seksi banget mungkin yach. Padahal dalam keadaan Indonesia yang semakin terpuruk, kita sangat membutuhkan program entertainment yang gak lepas dari sisi edukasi yang mampu menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan. negara kita bener2 butuh kaum muda yang jenius dan loyal. karena udah kebanyakan koruptor dinegara ini.

kembali ke acara tsb. Penampilan menjadi yang utama, padahal yang dikompetisikan adalah bukan pakaian melainkan suara. dan entah yah, mungkin dana yang mereka kocek dari kantong mereka pun juga nggak sedikit kayaknya, untuk minta dukungan sms sana-sini kan nggak mudah. whatever... ibu dan anak itu kayaknya enjoy aja !!!!

Sabtu, 15 September 2007

Perempuan Tak Perlu Dibela


Posted in Media Indonesia | Sabtu, 16 September 2006| Bedah Pustaka


Oleh : Alida Wahyuni Rusdi


SEMBILAN cerita pendek dalam Buntelan (Q Publisher, Juli 2006), buku terbaru yang ditulis A Badri AQ T, memberi peluang bagi hadirnya dialog segar ten­tang tubuh, eksistensi perempuan, ataupun rela­si gender. Soal-soal ini jelas bukan barang baru dalam khazanah cerpen Indonesia. Terutama bila kita menimbang bahwa para penulis perempuan yang jumlahnya terus bertambah, semakin bera­ni menulis soal perempuan dan penyimpangan seksual, dengan semangat merontokkan domina­si kaum adam di wilayah kehidupan rumah tangga, juga di tengah masyarakat luas.


Nama-nama seperti Ayu Utami, Djenar Mae­sa Ayu, Mariana Amiruddin, Laksmi Pamunt­jak, Ucu Agustin, dan Maya Wulan merupakan nama-nama yang tidak asing dalam konteks ini. Di kalangan penulis lelaki, Badri juga bukan nama baru yang menunjukkan pemihakannya pada perempuan. Tapi lewat sembilan cerpen­nya dalam Buntelan, terlihat bagaimana ia tidak larut ke dalam slogan-slogan kosung bahwa pe­rempuan adalah jenis manusia vang haknva da­lam konstruksi sosialharusdibela habis-habisan. Badri justru menempatkan tokoh dalam ce­rita-ceritanya begitu rupa, sampai terpahami bah­wa lelaki selalu lemah menghadapi kenyataan hidupnya tanpa perempuan.


Dalam koteks ini, Badri secara implisit seperti ingin menegaskan bahwa kaum perempuan ti­dakperlu dibela habis-habisan oleh kaum lelaki, tetapi cukupmenjela,kan kenvataanhidup lelaki secara jujur. Ini saja sudah ~cukup menjawab, relasi perempuan dan lelaki merupakan relasi yang tidak bisa saling meniadakan satu sama lainnva. Seperti dalam cerpen Sepasang Bola Mata yang Ditinggalkan di Sisi Meja Rias. Dalam cerpen ini dikisahkan bagaimana Aku harus hidup pon­tang-panting mengurusi perkembangan dua anaknya, Santo dan Santi. Istriya yang pergi entah ke mana, hanya meninggalkan dua bola matanya seukuran gundu, menjadi satu pukul­an berat bagi Aku. Ia harus mampu membangun omong kosong di hadapan kedua anaknva yang terus tumbuh besar.


Maka sang Aku selalu saja berkisah bahwa sang Ibu sedang bekerja di Arab Saudi sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Ini mungkin sekadar alasan di hadapan anak yang mudah dikelabui. Tapi, bagaimana Aku sendiri bisa menuntaskan kesepian tanpa istrinya adalah hal yang bagi pengarang tak ada jawabannya. Tokoh Aku di sini selalu berurai air mata setip kali menatap dua bola mata istrinya. Kesepian terus menikam­nya, tanpa tahu ia harus berbuat apa selain ber­mimpi dan berbohong.


"Aku tak tahu, apakah barusan aku tidur atau tidak. Pikiran dan perasaanku benar-benar se­dang terbelah. Untuk menjaga keselarasan komu­nikasi dengan kedua anakku, perlahan aku ter­senyum sambil membuka kelopak mataku seper­ti orang sedang mengintip sesuatu. Kedua anak­ku melepas tawa dari kelucuan yang aku buat ­buat." (hlm.11)


Kelemahan lelaki lebih miris lagi dituliskan Badri secara ilustratif, seperti terjadi dalam cer­pen berjudul Matinya Elang di Ranggas Randu. Pertama-tama Badri mengilustrasikan lelaki la­yaknya burung elang yang terbang tinggi di angkasa dan nemplok di dahan pohon randu sambil menebar ancaman bagi mangsanya, ter­masuk burung pipit yang diilustrasikan di sini sebagai perempuan.


Namun dalam kisahnya, si Aku (burung pi­pit) yang berusia dua puluh tahun ini terus saja menimbang apakah ia harus menerima cinta lelaki berusia empat puluh dua tahun, mirip dengan usia bapaknya sendiri. Kisah cinta terus berjalan antara dua insan yang berjarak usia jauh ini. Lelaki tua terus memaksa agar bisa menikahi perempuan itu. Di sisi lain, sang perempuan belum mau me­mutuskan, sebab ia masih mau menjalani masa indah pacaran. Lelaki tua merasa kehabisan langkah. Perempuan muda tetap pada pendir­iannya. Hingga suatu ketika, secara ilustratif kita menjadi paham bahwa cinta bagi perem­puan tetap tidak bisa dipaksakan oleh sesuatu di luar dirinva. "Paginya aku terbangun. Kubuka jendela ka­mar, matahari menerpa dengan suasana keha­ngatan, dan bersamaan dengan itu hatiku berde­gup. Jarak pandang pertama yang selalu menga­rah pada tegar berdirinya pohon randu dengan rentangan dahan begitu indah bagi mata hatiku, kali ini kudapati meranggas tanpa kehijauan dedaunan lagi. Tidak seperti pagi-pagi sebelum­nya. Di dahan tak terlalu tinggi itulah, kudapati seekor burung elang mati kaku." (hlm 65)


Lebih menarik lagi sebagaimana terlukis dalam cerpen berjudul Buntelan. Judul cerpen yang ke­mudian diangkat sebagai judul buku ini, me­mang tampak memiliki keunikan narasinya. Bisa dikatakan di sini, cerpen Buntelan terdiri dari tiga sudut pandang dan tersusun dalam komposi­si yang beraturan. Perspektif pertama dari Aku, dalam hal ini lelaki yang berhasil menerapkan strategi seksual­nya demi memuaskan nafsu sesaat. "Begitulah. Tanpa aku harus menunggu suara tokek, yang menghitung-hitung di suara akhir untuk melakukan atau tidak melakukan, tak kupedulikan lagi itu semua. Maka, sebagaimana yang kuingin­-ingini, sebegitu saja kupetik sari perempuan yang semalam tidur bersamaku. Aku tak peduli, apakah perempuan itu menikmati seperti apa yang kunikmati dalam petualangan asmara yang tak tertahankan lagi." (hlm 29-30) Perspektif kedua dari Aku, dalam hal ini pe­rempuan yang dipetik sarinya namun melaku­kan pemberontakannya sendiri. "Begitu pun air mataku, air mata seorang perempuan yang menjerit hatinya, taklagi berfaedah keluar di sela-sela kelopak mataku. Lantas untuk apa bila lautan surgawiku ini hanya jadi impian lelaki nakal yang ingin menyalurkan hasrat-hasrat kelelaki­annya, lantaran aku mau tidur di sisimva." (him 37-38) Perspektif ketiga dari Dia, narator yang berusa­ha menghamparkan dua perspektif berlawanan dari peristiwa persemaian cinta persetubuhan dan pemberontakan yang terjadi antara seorang lelaki dan seorang perempuan, yang sebelumnya telah dibebaskan membangun perspektifnya ma­sing-m asing.


Cerpen-cerpen yang ditulis Badri memang me­nampilkan tokoh-tokoh yang pada gilirannya me­nukik pada pencitraan perempuan modern. Kare­na itu, sosok perempuan yang tegar di atas lang­kahnya selalu terjadi di sana-sini. Tokoh-tokoh perempuan yang hadir dalam cer­pen-cerpen Badri, dengan kata lain, merupakan tokoh-tokoh yang sudah menganggap usang bah­wa kaum lelaki adalah golongan manusia yang harus selalu dipuja dan ditakuti. Sebaliknya, to­koh-tokoh cerpen di situ malah saling menginsyafi keniscayaan gender, agar dapat menerangi kehi­du.pan dunia ini dengan damai, cinta, dan saling pengertian.


Akhirnya, kaum lelaki tak perlu membela kaum perempuan, juga sebaliknya, bila hanya melahir­kan pahlawan kesiangan. Sebab bila kejujuran dan saling pengertian sudah terjadi antara kaum lelaki dan perempuan, kisah dominasi pun tak lagi ada. Penindasan berbasis gender pun usang dengan sendirinya.

Wassalam

Selasa, 03 Juli 2007

peranan kesetaraan pendidikan untuk kesetaraan gender

Oleh : Alida Wahyuni, SE

Abstraksi :
The Beijing Declaration and The Platform for Action, 1996 (Gender Education and Development, International Center of the ILO) : “pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia, perkembangan dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dewasa.” Gender sebagaimana didefinisikan secara umum adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. Tataran bias gender banyak terjadi dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan dan pembangunan. Dalam bidang pendidikan misalnya peran gender terjadi dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi perempuan.

Pendahuluan
Manusia sebagai bagian dari kehidupan di bumi cenderung mempercayai bahwa kita hidup dengan kadar kebebasan yang signifikan, bahwa kita bebas memilih cara berperilaku, cara berfikir, dan memilih peran gender. Kita juga menganut pandangan umum dunia bahwa jalan kita untuk menjadi feminin ataupun maskulin merupakan sesuatu yang alami akibat langsung karena dilahirkan secara biologis sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Yang pasti, suatu masayarakat dapat memiliki beberapa naskah yag berbeda, kebiasaan yang berbeda, tetapi nilai inti dari suatu kultur, yang mencakup peran gender berlangsung dari generasi ke generasi seperti halnya bahasa. Salah satu yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu sering berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya.

Penafsiran tentang pengertian genderpun seringkali terjadi salah arti, pengertian gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin). Pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan serta pembagian peran serta tanggung jawab yang telah berjalan dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga semakin lama akan semakin sulit dibedakan mana yang seks mana yang gender.

Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Gender bukan kodrat atau takdir Tuhan, tetapi gender berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan bagaimana seharusnya perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan kata lain gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan :2002).

Isu kesetaraan gender sejalan dengan perkembangan jaman yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong perkembangan ekonomi dan globalisasi informasi, yang memungkinkan kaum perempuan bekerja dan berperan sama dengan kaum lelaki. Hal yang sangat penting adalah bahwa kesetaraan gender itu harus didukung dengan perlindungan hukum dan berbekal pendidikan yang memadai, karena perjuangan kesetaraan gender yang hakiki adalah perjuangan kesetaraan gender dalam dunia pendikan dan perlindungan hukum. Ini dapat terlihat misalnya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar terjadi pada perempuan (isteri) juga kasus Tenga Kerja Wanita yang bekerja di luar negeri yang seringkali pulang ke kampung halaman dengan membawa oleh-oleh luka di sekujur tubuh serta phobia ataupun traumatik yang sangat membekas. Kejadian seperti ini sangat berpotensial menghancurkan masa depan seorang perempuan yang notabene masih sangat muda juga bagi kaum TKW yang sudah berumah tangga dan memiliki anak. Bagaimana mungkin dapat mengasuh anak jika traumatik membayangi. kehidupannya.

Dapat terlihat jelas bahwasanya kejadian buruk yang seringkali menimpa kaum perempuan dikarenakan kurangnya pengetahuan atau pendidikan. Dengan perjuangan kesetaraan perempuan dalam dunia pendidikan diharapkan kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap perempuan dapat terminimalisir ataupun tidak terulang lagi.
Perjuangan untuk menyuarakan kesetraan gender itu tidak akan betul-betul bisa terwujud apabila kesetraan gender dalam pendidikan belum bisa direalisasikan. Artinya perjuangan kesetraan gender harus dimulai dengan kesetaraan antara kaum perempuan dan kaum lelaki, sehingga mempunyai peluang yang sama untuk mengakses lapangan pekerjaan dan berperan dalam berbagai kehidupan.

Kesenjangan Pendidikan terhadap perempuan.
Pendidikan adalah kata kunci yang menjadi elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat jika memang taruhannya adalah perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Tapi di sini juga persoalannya, karena nyatanya pendidikan bukan suatu yang bebas nilai dalam dirinya. Pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial, dan celakanya ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni perempuan yang tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut.

Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kesenjangan gender secara menyeluruh. Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender adalah karena latar belakang pendidikan yang belum setara. Dengan lebih rendahnya tingkat pendidikan penduduk perempuan akan menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar. Dengan demikian kesempatan pendidikan untuk semua harus dibuka seluas-luasnya dengan memajukan program-program sosialisasi kesetraan gender, agar masalah kesenjangan gender tidak terus berlangsung.

Gejala kesenjangan gender di bidang pendidikan terjadi lebih buruk pada negara-negara berkembang. Kesenjangan terjadi antara laki-laki dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan, sekolah atau lembaga pendidikan luar sekolah. Kesenjangan dalam akses menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam mengikuti berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, perempuan belum mampu memainkan peran yang seimbang dibanding lawan jenisnya dalam proses pengambilan keputusan di bidang pendidikan, baik melalui lembaga-lembaga resmi maupun keluarga. Akibat lebih jauh, perempuan belum dapat menikmati hasil dan manfaat pendidikan untuk memberdayakan kehidupan mereka dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh laki-laki.

Akibat kesenjangan pendidikan, perempuan yang terdiri atas setengah penduduk dunia masih merupakan segmen masyarakat yang belum diberdayakan sehingga kurang produktif. Kesenjangan gender di bidang pendidikan dianggap merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang perlu dieliminasi melalui upaya-upaya yang sistematis dan terprogram. Oleh karena itu, setiap negara termasuk Indonesia, telah mencanangkan komitmennya untuk mengurangi kesenjangan gender khususnya di bidang pendidikan.

Kesetaraan gender dianggap merupakan indikator terukur dari pembangunan pendidikan yang berkeadilan gender. Kesetaraan gender tidak seyogyanya diartikan bahwa perempuan berjuang untuk menjadi pesaing bagi laki-laki dalam pengelolaan dan pembangunan pendidikan, tetapi harus dianggap sebagai mitra sejajar. Kesetaraan gender di bidang pendidikan memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan dalam pembangunan sektoral serta peningkatan produktifitas masayarakat.

Berdasarkan data statistik pendidikan pada tahun 2000/ 2001 menunjukkan bahwa kamajuan dalam upaya perluasan dan pemerataan pendidikan sudah mencapai angka partisipasi murni (APM) SD 94,96 % dan angka partisipasi kasar (APK) di SLTP 72,6 %. Upaya perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pendidikan menengah hingga mencapai APK 37,6% dan pendidikan tinggi dengan APK 10%. Walaupun belum menggambarkan bahwa program wajib belajar pendidikan dasar 6 dan 9 tahun dimaksudkan untuk memperjuangkan kesenjangan gender, tetapi sifatnya netral gender leasure tidak membedakan akses terhadap pendidikan menurut gender. Namun dalam kenyataannya proporsi perempuan dalam partisispasi pendidikan masih ketinggalan di belakang laki-laki dalam menikmati kesempatan belajar. Sebagai contoh, sampai pada tahun 2001, angka melek huruf laki-laki sebesar 93,13% dan perempuan sebesar 85,46%.

Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki juga dapat dilihat berdasarkan angka persentase penduduk usia 10 tahun ke atas menurut jenjang pendidikan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1999, penduduk perempuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD sebesar 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13% sedikit lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan Sekolah Menengah adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1 % yang masih lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%.

Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisisasi pendidikan. Berdasarkaan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pedidikan tahun 2001, APM SD sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%, sedangkan APM SLTP sudah mengalamai kesetaraan gender walaupun dalam angka yang masih sama-sama rendah yaitu 56,62% laki-laki dan 56,3% untuk perempuan. Tahun ke tahun kesetaraan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan yang lebih baik walaupun tidak secara signifikan hanya sedikit saja setiap tahunnnya, dan perubahan yang sedikit ini dipengaruhi baik secara langsung melalui kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan maupun faktor sosio-kultural yang sangat sulit untuk diubah dalam waktu yang relatif singkat.

Menurut Ace Suryadi (2004 : 22) bahwa analisa kesetaraan gender dalam bidang pendidikan pendidikan dan ketenagakerjaan dirumuskan sebagai berikut :
Mengajak untuk sama-sama berfikir dan mensosialisasikan kesetaraan gender khususnya kesetaraan dalam memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Memberikan gambaran yang lebih jelas melalui angka-angka statistik dan indikator pendidikan secara nasional maupun per satuan wilayah, serta gambaran per sektor yang menunjukkan adanya kesenjangan gender yang disebabkan karena alasan pendidikan.
Mempertegas upaya kesetaraan gender yang sudah berhasil dan yang masih perlu terus diupayakan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan berdasarakan jenjang, jenis dan jalur pendidikan mulai dari tingkatan SD dan yang sederajat sampai perguruan tinggi yang sederajat.
Dapat memberikan masukan yang akurat untuk penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan dalam mewujudkan kesempatan pendidikan yang lebih merata pada semua jalur,jenis dan jenang pendidikan dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Memacu peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan melalui pemberdayaan potensi perempuan secara optimal,baik dalamkedudukan sebagai pengambilan keputusan, pengelola pendidikan, tenaga kependidikan maupun sebagai peserta didik.
Memberikan masukan dalam upaya memperkecil kesenjangan gender pada proses penjurusan, bidang keahlian, atau program studi yang ada pada jenjang pendidikan menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tingi (PT) untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang keahlian dan profesionalisme.
Meningkatkan peluang bagi perempuan untuk memasuki semua jurusan atau program keahlian pada semua jenjang pendidikan, khususnya untuk program-program keahlian atau jurusan yang bias laki-laki, melalui perbaikan dalam sistem penerimaan siswa/ mahasiswa baru dan penjurusan, sehingga dapat menyeimbangkan proporsi siswa/ mahasiswa menurut gender.
Memberikan masukan dalam upaya meningkatakan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan menurut gender serta partisispasi perempuan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan di bidang pengelolaan pendidikan nasional, yang pada saat ini masih terdapat kesenjangan

Seperti yang tertuang dalam The Beijing Declaration and The Platform for Action, 1996 (Gender Education and Deelopment, International Center of the ILO) “pendidikan merupakan hak asasi manusia, perkembangan dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubugan antara perempuan dan laki-laki dewasa.” Sebetulnya sudah ada basis legal yang mendukung kesetraan gender dalam pendidikan, maka seringkali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah “lalu, dimana persoalannya? Bukankah aturan-aturan yang ada mendukung kesetaraan gender dalam pendidikan?” tapi sebaliknya, mengapa justru aturan-aturan legal yang disepakati tetap meminggirkan perempuan dalam pendidikan?. Bila pemahaman tentang isu-isu perempuan tidak diperhitungkan maka kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan sangat tidak berguna dan bahkan bisa jadi menguatkan bias gender dalam pendidikan.

Salah satu ideologi paling kuat yang menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat. Wilayah publik yang terdiri atas negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama dan kultur, di semua hampir lapisan masayarakat di dunia ini didominasi laki-laki. Yang jelas, ada perempuan individu yang memasuki dan mungkin pada akhirnya memimpin wilayah publik tersebut. Suku, kelas, agama mungkin memainkan peran besar dalam memutuskan laki-laki mana yang menjalankan kekuasaan, tetapi akses perempuan terhadap kekuasaan senantiasa lebih kecil dibandingkan akses laki-laki dari latar belakang yang sama. Ini berimplikasi penting terhadap praktik pembangunan dan kemampuan perencana pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berat sebelah serta menguntungkan perempuan maupun laki-laki. Karena, perempuan tidak terwakili dengan semestinya dalam lingkup publik, mereka kurang mampu menajalankan kekuasaan dan mempengaruhi kesejahteraan gendernya. Ideologi publik dan privat cenderung mengandung makna bahwa lingkup pengaruh perempuan adalah rumah, baik itu rumah susun, rumah mewah ataupun gubuk dipedesaan atau dipinggiran kota. Dalam 20 tahun terakhir ada pengakuan yang semakin berkembang tentang arti penting lingkup ini dalam kepedulian utama komunitas dan keluarga, dan sentralisasi rumah tangga dalam menentukan peran dan ketidakadilan gender. Di seluruh dunia, perempuan sedang menuntut kembali atau pertama kalinya menuntut ruang publik, akses terhadap media ataupun pendidikan, pembentukan jaringan perempuan internasional, dan keterlibatan bertahap perempuan ke dalam kehidupan publik mulai menentang ideologi publik dan privat yang tidak menguntungkan kaum perempuan.

Perspektif Perempuan Tentang Pendidikan
Secara kultural, pendidikan bisa mengangkat derajat manusia masuk ke dunia modern dan melepaskan diri dari tahayul dan kepercayaan tradisonal. Pendidikan juga dapat menjadi dasar pembentukan kesadaran nasionalsime (berbangsa dan bernegara) sebagai faktor pendukung utama dalam pembangunan sebuah negara. Oleh karenanya isu gender dalam pembangunan telah sering diungkapkan pada bagian forum nasional maupun internasional. Dalam International Convention Of Population and Development (ICPD) di Cairo, isu kemiskinan dunia (poverty Issues) memperoleh sorotan yang meluas. Proporsi perempuan yang dominan di dalam segmen masyarakat miskin dunia berkorelasi searah dengan keterbelakangan pendidikan mereka. Tiga perempat dari penduduk buta huruf dunia adalah perempuan dan dua pertiga penduduk tersebut berada di asia. Masalah ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kajian empiris yang puncaknya adalah dalam World Summit on Social Development (WSSD) terutama menyangkut masalah keterbelakangan penduduk minorotas, termasuk di dalamnya tentang perempuan. Berkaitan dengan keterbelakangan itu muncul sebuah gerakan dunia, yaitu gender and development (GAD). Gerakan ini mengikuti persfektif pembangunan nasional akan pentingnya kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam melaksanakan peran di berbagai bidang kehidupan untuk memacu produktifitas nasional.

Teori Feminisme dalam wacana pendidikan juga dapat diperhitungkan sebagai bagian yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, paling tidak ada empat teori besar feminisme yang secara singkat perlu dikemukanakn di sini yang dikaitkan dengan masalah pendidikan, antara lain (Jurnal Perempuan : Mei 2002)

Teori Feminsme Liberal.
Teori ini memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan mengapa anak perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi. Mengapa mereka diarahkan ke jalur pendidika yang praktis? Feminisme liberal lebih berfokus pada persoalan akses ke pendidikan, peningkatan partisipasi sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan bagi anak perempuan dari keluarga yang kurang beruntung dan melakukan penuntutan kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal atau tidak mengancam
Teori Feminsme Radikal
Teori radikal mencari persoalan sampai keakar-akarnya bertolak belakang persepsi mereka dengan kaum feminis liberal. Kaum feminis radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena sistem patriarkhal yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu, juga melihat hubungan-hubunga kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena nya ini yang kemudian menentukan keterbelakangan perempuan perempuan di berbagai bidang.
Teori Feminsme Marxis dan Sosialis
Bagi teori ini, ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas. Pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan pendapatan pribadi. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah terlihat gamblang sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan terus menerus. Bahasa-bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas, produksi, kemiskinan dan seterusnya.
Teori Poststrukturalis dan Postmodernisme
Teori ini mengkritik definisi pendidikan yang lebih berpusat pada laki-laki (male-centered) tidak dipertanyakan lagi atau sudah dianggap wajar dan semestinya. Teori ini juga membongkar semua anggapan-anggapan yang diterima begitu saja. Konsentrasi yang dilakukan teori ini adalah melihat semua diskursus-diskursus yang ada (teks-teks) yang ada dalam dunia pendidikan yang melakukan operasi bawah sadar sehingga terjadi penaturalan bahasa-bahasa yang bias gender. Oleh sebab itu, teori ini bukan saja mengajak mereka yang berkepentingan dengan pendidikan untuk merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias gender terbentuk dan beroperasi secara luas.

Kesenjangan dalam Dunia Akademis
Dunia Akademis selama ini dianggap sebagai suatu institusi ilmiah yang memandang kesetaraan sebagai suatu hal yang harus diperjuangkan, ternyata dalam kenyataannya tidak bisa terhindar dari konstruksi sosial yang melahirkan ketidakadilan antara lelaki dan perempuan. Hal ini memberikan gambaran bahwa meskipun sebagian besar perempuan memilih profesi sebagai pengajar, dalam kenyataannya terjadi diskriminasi yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan.

Dalam dunia akademis, terminologi gender menciptakan diskriminasi dalam hal kesetaraan kesempatan dan prospek karir. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di United Kingdom University (Foster: 2000) menunjukkan bahwa dari sisi jumlah, kesempatan studi lanjutan, kepangkatan akademis, dan jabatan struktural, perempuan memiliki posisi inferior dibandingkan dengan lelaki.

Secara lisan, perempuan memiliki kesempatan dan prospek karir yang sama dengan pria. Tetapi dalam tatanan realita, tetap saja terjadi marginalisasi dan ketidakadilan terhadap perempuan yang bekerja dalam dunia akademis, khususnya sebagai tenaga pengajar. Dari sisi kuantitatif, pengajar pria lebih banyak dibandingkan perempuan. Meskipun konsep kekurangsetaraan tidak mutlak terukur dari sisi kuantitas. Dominasi pria dalam dunia akademis adalah suatu produk dari perkembangan sosial. Dalam sejarahnya, lelaki lebih berkesempatan untuk mengeyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, meskipun perkembangan selanjutnya banyak perempuan yang saat ini mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Namun hal itu tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi akademisi perempuan di perguruan tinggi. Subordinasi terhadap perempuan tetap terjadi di area tersebut. Proses seleksi dan promosi perempuan di dunia akdemis menempatkan laki-laki lebih menguntungkan dibandingkan perempuan.

Dalam hal promosi dan kesempatan studi lanjut, perempuan memang mendapatkan kesempatan tetapi kesempatan pertama tetap saja tertuju kepada akademisi pria. Begitu juga dengan masalah kebijakan, banyak peraturan yang memihak kepada perempuan dalam statusnya sebagai pengajar di dunia akademis, misalnya masalah tunjangan keluarga.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Persoalannya justru muncul ketika perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan yang termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, streotype dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak dan sebagainya.

Kecenderungan kuat yang menandai era pergeseran dominasi lelaki terhadap perempuan adalah banyaknya perempuan yang berada di wilayah-wilayah publik yang dulu “diamini” sebagai milik lelaki. Gerakan perempuan di dunia akademis timbul ketika muncul ketidakadilan dan diskriminsi serta diferensiasi. Budaya androsentris telah melahirkan suatu gender hirarki yang lebih memihak kaum lelaki untuk lebih memiliki kesempatan masuk ke ruang publik jika dibandingkan dengan perempuan. Ketika secara legal perempuan dapat disejajarkan dengan lelaki, dalam kenyataannya marginalisasi terhadap perempuan tetap terjadi. Seperti telah disebut bahwa perempuan menempati posisi inferior jika dibandingkan dengan lelaki. Selama ini, muncul estimasi yang lebih rendah terhadap kinerja perempuan. Kurangnya percaya diri serta tidak adanya dukungan dari lingkungan telah memperburuk situasi tersebut. Oleh karena itu, pergerakan perempuan di dunia akademis lebih difokuskan mengenai persamaan kesempatan serta prospek karir.

Beberapa hal yang diperlukan untuk mendukung persamaan kesempatan bagi perempuan antara lain adanya dukungan baik dari atasan maupun sesama akademisi perempuan. Selain itu, perempuan perlu membekali diri dengan berbagai ketrampilan serta membangun diri untuk berkomitmen pada pekerjaannya. Kadangkala hal ini menuntut pengorbanan, baik yang bersifat individu maupun keluarga. Dalam hal kompetensi, perempuan juga dituntut untuk meningkatkan kemampuannya, terutama dalam hal riset serta kemampuan untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang bisa dikenal orang lain. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut diperlukan untuk meningkatkan bargaining positioning bagi perempuan.

Kalaupun akan mencapai posisi eksekutif, seorang perempuan harus bekerja jauh lebih keras dibandingkan dengan lelaki karena seolah-olah harus memulai dari suatu titik negatif. Bagi laki-laki harus memulainya hanya dari titik nol, dan untuk mendapatkan selanjutnya adalah lebih mudah. Dan bagi perempuan, memulainya harus dari titik negatif, lalu mereka harus menghapus yang negatif sebelum mereka menuju titik nol. Dalam hal ini, perempuan harus menunjukkan jati dirinya dan dia harus bekerja lebih keras untuk diterima pada level yang sama dengan laki-laki.

Ketidaksetaraan gender menjadi semakin jelas terlihat dari gejala pengelompokan gender ke dalam jurusan, bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda menurut jenis kelamin. Gejala ini berdampak buruk terhadap persaingan yang kurang sehat dalam hubungan antar gender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak akan dapat dikembangkan secara optimal.

PENUTUP

Main Streaming Gender atau pengarusutaman gender (PUG) merupakan perwujudan dari komitmen global penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, berkaitan dengan kesamaan kesempatan dan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam masyarakat. PUG merupakan sebuah perspektif pembangunan nasional yang akan didukung oleh pendidikan yang cukup baik. (Ace Suryadi : 2004)
Namun, dalam bidang Pendidikan di Indonesia memang masih kurang menggembirakan, khususnya kaum perempuan. Pada sekolah tingkat dasar kesenjangan gender lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural yaitu perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga, yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki daripada anak perempuan. Pada tingkat sekolah lanjutan dan menengah lebih disebabkan oleh faktor kebijaksanaan pendidikan.
Kurikulum dan buku ajar yang belum berlandaskan pada peran gender secara seimbang akan menyebabkan perempuan tetap tidak memiliki mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif. Penulis buku masih didominasi kaum laki-laki pada setiap mata pelajaran atau jenjang pendidikan akan menyebabkan proses pembelajaran menjadi bias laki-laki yang dapat mengurangi potensi perempuan untuk berkembang. Pengaruh sosio kultural masyarakat Indonesia masih menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang strategis dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan. Rendahnya angka partisipasi perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan pendidikan enjadi kurang efisien walau proporsi perempuan yang melanjutkan pendidikan selalu lebih rendah daripada laki-laki, namun perempuan lebih mampu bertahan.
Tabel
Angka Bertahan menurut Gender tahun 2000-2001
No
Jenjang Pendidikan
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1
Sekolah Dasar (SD)
74,36
80,02
77,05
2
Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP)
94,29
95,84
95,02
3
Sekolah Menengah (SM)
92,50
97,62
94,93

a. Sekolah Menengah Umum
92,59
98,82
95,71

b. Sekolah Menengah Kejuruan
92,39
95,44
93,70
Sumber : Pusat Data dan Informasi Pendidikan Balitbang-Depdiknas tahun 2001

Kesetaraan gender dalam pendidikan dipandang sangat penting karena sektor pendidikan merupakan sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Dengan asumsi bahwa tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebiajakan pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan, artinya kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia baik laki-laki mapun perempaun sangat terbuka seluas-luasnya dengan peluang yang sama.

Karena itu, kesempatan berpendidikan yang lebih luas pada setiap jenjang pendidikan dengan memperhatikan kesetaraan gender harus segera diwujudkan. Perempuan juga harus diberdayakan potensinya baik sebagai pengembangan kurikulum, penulis buku, pengelola pendidikan, pelaksana pendidikan maupun sebagai peserta didik. Untuk mengarah pada keahlian profesionalisme ketimpangan gender juga harus diperkecil pada jurusan, bidang kejuruan atau program studi yang ada pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.

Pejabat pemerintah, terutama daerah, kepala sekolah dan guru-guru hendaknya lebih meningkatkan kesadaran gender dalam peran-peran gender yang lebih seimbang dalam proses pendidikan di sekolah. Juga peningkatan kesadaran gender terhadap masyarakat bahwa kesempatan yang sama di bidang pendidikan dan pekerjaan menurut gender sehingga dapat memacu produkivitas masyarakat. Keseimbangan jumlah tenaga pengajar perempuan serta partisipasi perempuan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan di bidang pengelolaan pendidikan hendaknya lebih ditingkatkan.






Daftar Pustaka

Dr. Ace Suryadi, 2004, Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan. Genesindo, Bandung.
Maftuchah Yusuf, 2000, Perempuan Agama dan Pembangunan. Lembaga Studi dan Advokasi Pendidikan, Jakarta.
Jurnal Perempuan Edisi 23, 2002.
Profil Statistik dan Indikator Gender Propinsi DKI Jakarta tahun 2000,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Apa itu Gender?.
Evelyn Suleeman, Pendidikan Wanita di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 1995, Jakarta.

to stella

Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899, http://swaramuslim.net/more.php?id=1773_0_1_0_M34)

Tentang Buku Panggil Aku Kartini Saja

Panggil Aku Kartini Saja, merupakan salah satu dari sekian banyak karya bung Pram yang amat menggetarkan. Tulisan Pramoedya tentang kartini bertolak belakang pandangan umum selama ini. Khalayak umum mengetahui, bahwa Kartini adalah anak Bupati Jepara. Seorang Pahlawan Nasional yang membuka jalan emansipasi perempuan. Karya Kartini ”Habislah Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan Armin Pane. Pandangan Pram tentang sosok Kartini sangat melebihi dari yang diketahui publik secara awam, Kartini ditinjau dan dinilai dalam rangka sejarah Indonesia, maupun dunia luar. Tulisan-tulisannya ditafsirkan sesuai dengan zamannya dimana kolonialisme mengalami keagungannya dan feodalisme di pulau jawa mempengaruhi segala aspek kehidupan.

Pada awal buku ini yang mengambil ancang-ancang sejarah Diponegoro, masa tanam paksa, dan masa politik etis. Sehingga tampak jelas melalui penggalian fakta sejarah mulai dari karya Kartini sendiri, tulisan tentang Kartini, bahan tentang politik, sosial ekonomi sejarah, dan sastra serta lainnya. Dan lahirlah sosok Kartini tak seperti kebanyakan anggapan orang, perempuan pejuang ningrat. Tetapi sebagai sosok ”pemberontak” sejati.

Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikiann kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga melawan budaya feodalistik.